Rabu, 30 Desember 2015

MENGEDIT PPT DENGAN CAMTASIA



CARA MEMBUAT ORIGAMI BURUNG


ILMU AKHLAK



DESI ANGGARA    14117964
1.   ILMU AKHLAK
A.    Pengertian
Menurut bahasa (etimologi)perkataan akhlak ialah bentuk jamak dari khuluk (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at. Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia, seperti raut wajah, anggota gerak badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethios atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecendrungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethios kemudian berubah menjadi etika.[1]
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisinikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dilihat dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat ahli tersebut dihimpun sebagai berikut:
1.   Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah tentang ilmu keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan, dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong dari segala bentuk keburukan.
2.   Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.
3.   Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiaasaan baik dan buruk. Contohnya apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut akhlaqul karimah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlaqul madzmumah.
4.   Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.[2]
5.   Hamzah Ya’qub mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut:
a.    Akhlak ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
b.   Akhlak ialah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.[3]
Secara linguistik kata akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim tidak memliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khiqun atau khuluqun, baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.
Dari keseluruhan definisi akhlak tersebut ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Misalnya si A orang yang berakhlak dermawan, maka sifat dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan dimanapun  sikapnya itu di bawanya, sehingga identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Namun, jika si A kadang-kadang dermawan dan kadang-kadang bakhil maka si A belum dapat dikatakan seorang yang dermawan.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila. Karena perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namum karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan mengerjakan sudah tidak lagi memerlukan pertimbanganatau pemikiran lagi.  
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, sejalan dengan ciri keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.
Dalam perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memilki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh yang mengembangkannya.  kemudian membentuk satu kesatuan yang yang saling berhubungan dan membentuk suatu ilmu. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu tentang tata karma.
Ilmu akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus di tuju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan mejalankan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[4]
Dari pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa Ilmu Akhlak Ialah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk disekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai norma.

B.     Dasar Hukum
Ilmu akhlak dapat dilihat dalam Al-Qur’an. Misalnya kita baca ayat yang berbunyi:

وَانَّكَ لَعَلٰى خُلُقِ عَظِيْمٍ (ا لقلم : ٤ )
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam, 68:4)

اِنْ هٰذ ااِلاَّ خُلُقُ اْلا خُلُقُ اْلاَ وَّ لِيْنَ  (اثعر : ۱۳٧   )

(Agama kita) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan yang dahulu. (QS. al-Syu’ara, 26:137)

فَلاَ وَرَبِِّكَ لاَ يُؤ مِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فيمَاشَجَرَ بَينَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُ وْانِيْ انْفُسِِْْ حَرَ جَا مِمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلّمُوْا تَسْلِسْمًا (النساء : ٦٥)
Maka demi Tuhan engkau, mereka belumlah dinamakan beriman, sebelum mereka meminta keputusan kepada engkau (Muhammad) dalam perkara yang menjadi perselisihan di antara mereka, kemudian itu mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap apa yang engkau putuskan dan mereka menerima dengan senang hati. (QS. Al-Nisa, 4:45).
انما كَا نَ قَوْ لَ المُؤْمنينَ اِذَادُعُوْاإِلَى اللّهِ وَرَسُوْلِه لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْاسَمِعْنَا وَ اَطَعْنَا وَاُولٰنكَ هُمَ المُفْلِحُونَ ( النور: ٥١)
Ucapan orang yang beriman itu, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya untuk diputuskan perkara di antara mereka, hanyalah orang yang mengatakan “Kami dengar dan kami patuhi”, dan itulah orang yang beruntung. (QS. Al-Nur, 24: 51).
اِنَّمَاالمُؤ مِنُوْنَالَّذِ يْنَ اِذَ اذُ كِرَ اللَّهِوَجِلَتْ قُلُوْبَهَمْوَاِذَ اتَلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهُ زَادَ تْهُمْ اِيْمَانًا وَّ عَلى رَبّهَمْ يَنَوَكَلُونَ  الَّدِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَوَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يَنْفِقُوْ نَ أُولٰئِِكَ هُمُ الْمُؤ مِنُوْ نَ حَقًا (الانفال : ٣-٤)
Sesungguhnya orang-orang beriman itu apabila disebut nama Allah, hati mereka penuh ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat (keterangan) Allah, keimanan mereka bertambah karenanya dan mereka menyerahkan diri kepada Tuhannya. Mereka mengerjakan sembahyang dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman. (QS. Al-Anfal, 8: 2-4)
قَدْاَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ٥الَّدِيْنَ هُمْ فِى عَلَوتِعْونَ هوَالَّدِ ينَ هُمْ عَنِ اللَّعْوِمُعْرِضَوْنَ ٥وَالَّدِينَ هُمْ للِزَّكَاةِفَاعِلُوْنَ ٥وَالَّذِيْن هُمْ لِفُروْجهِمْ حَافِظُوْنَ ٥
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu dalam sembahyangnya, dan menjauhkan diri dari (perbuatan-perbuatan) yang tidak berguna. Dan mengerjakan perbuatan suci (membayar zakat) dan mereka yang menjaga kesopanan. (QS. Al-Mukminun, 23:1-5).

ا اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْابِاللّٰهِوَرَسُوْلِهِثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْاَجَاهَدَوْابِاَمْوَالِهِمْوَاَنْفُسِهِمْ فِى سَبيْلِاللّٰهِاُولٰئِك همُلَّادِقَونَ (الهجرات:١٥)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan dirinya di jalan Allah. Itulah orang-orang yang benar (keimanannya). (QS. Al Hujurat, 49:15)
Begitu pula Ilmu Akhlak dapat dilihat dalam berbagai hadis, seperti misalnya :
لاَيُؤْمِنُ احَدُكُم ْحتَّى يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak sempurna keimanan seseorang sehingga ia mau mencintai saudaranya, sebagaimana mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari dan Muslim).
لاَيُؤْمِنُ الْعَبْدُاْلاِيْمَاَكُلّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ مِنَ المَزَاحَةّ وَيَتْرُكَ الْمِرَاءَوَانْ كَانَصَادِقًا
Seseorang belum dianggap total (sempurna) keimananya, kecuali ia mau meninggalkan kedustaan dari senda gurau (percakapan) nya dan meninggalkan pertengkarannya walaupun ia termasuk orang yang benar. (HR. Ahmad).
لَيْسَ اْلمُؤْمِنْ بِالَّذِى يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَاثِعُ الىَ جَنْبِهِ
Bukanlah termasuk mukmin (yang Baik) yaitu orang yang merasa kenyang (sendiri) sementara tetangganya yang dekat menderita kelaparan. (HR.Ahmad)
 لَيْسَ منْ اَجْلاَ قِ الْمُؤْمِنِ الْمُتَمَلَّقُ وَلاَالْحََسَدُاِلاَّفِى طََلَبِالعِلْمِ
Bukanlah termasuk akhlak dari seorang mukmin, yaitu orang yang tidak pernah merasa cukup dan bersikap iri, kecuali dalam hal mencari ilmu. (HR. Baihaqi dari Mu’az).
 مَنْ كَا نَ يُؤْمِنُِ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الاخِرفَلْيُحْسِنْ اِلَى جَارِهِ وَمَنْ كَانَ بُؤْمِنَ بِاللٰهِ وََالْيَوْمٍ اْلاٰخِرِفَلُْيُكْرِمْ ضََََيْفَهُ  وَمَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الاٰخِرِ فَلْيَقُلْ خَْيْرًااَوْلِيَصْمتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia bebuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau sebaliknya diam saja. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam Undang-undang tentang pendidikan juga menegaskan tentang akhlak. Misalnya pada undang-undang berikut:
pasal 31 ayat (3) termaktub: "Pemerintah mengusahakan dengan menyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang."
 Dalam UU Sisdiknas, pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
C.    Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Akhlak
Jika definisi tentang Ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan Ilmu Akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk.
Dengan demikian objek pembahasan Ilmu Akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Jika kita katakan baik atau buruk maka ukuran yang harus digunakan adalah ukuran normatif.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam Ilmu Akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Selanjutnya ditentukan kriteriannya apakah baik atau buruk. Dalam objek kajian Ilmu Akhlak disini adalah perbuatan yang memiliki ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, yaitu perbuatan yang dilakukan atas kehendak dan kemauan,sebenarnya, mendarah daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus-menerus sehingga mentradisi dalam kehidupannya.
Selanjutnya tidak ke dalam perbuatan akhlaki, yaitu perbuatan yang alami. perbuatan yang bersifat alami, dan perbuatan yang tidak dilakukan karena sengaja, atau khilaf tidak termasuk perbuatan akhlaki, karena dilakukan tidak atas dasar pilihan.
Perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang dalam keadaan tidak disertai kesadaran atau kemauan diri sendiri tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena semua perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan sengaja.
Dengan memperhatikan keterangan tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Akhlak adalah Ilmu yang mengkaji suatu perbuatan yang dilakukan manusia dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, dan sungguh-sungguh atau sebenarnya, bukan perbuatan yang pura-pura dan selanjutnya diberi nilai baik atau buruk.
D.    Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Ilmu Akhlak berfungsi memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang buruk. Maka seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kretaria perbuatan yang baik dan buruk itu, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Dengan mengetahui yang baik akan mendorong untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat dan keutungannya, sedangkan dengan mengetahui yang buruk akan mendorong untuk meninggalkan dan akan terhindar dari bahaya yang menyesatkan.
Selain itu Ilmu Akhlak juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Ilmu Akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki pengetahuan dan teknologi yang maju yang mana disertai dengan akhlak mulia, niscahya ilmu pengetahuan modern yang ia miliki akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kehidupan manusia. Sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasan dan sebagainya namun tidak disertai akhlak yang mulia, maka itu akan disalahgunakan yang akibatnya menimbulkan bencana di muka bumi.
Dengan mempelajari ilmu akhlak dapat mengetahui batas antara baik dengan yang buruk dan dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, yaitu menempatkan sesuatu pada proposi yang sebenarnya.Ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan berbudi luhur. Namun mempelajari akhlak dapat membuka mata hati seseorang untuk mengetahui yang baik dan buruk.[5]
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk.
E.     Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu yang Lain.
            Ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan Ilmu Akhlak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.   Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu Tasawuf
Para ahli tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian yaitu tasawuf falsafi, tasawuf akhlaki dan tasawuf amali.ketiga tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga tasawuf ini memiliki pendekatan yang berbeda. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan sebagainya. Selanjutnya tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli ( mengosongkan diri dari akhlak yag buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang(hijab)) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Illahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliayah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau imami, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf lebih lanjut dapat mengikuti uraian yang diberikan Harun Nasutation. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Nilai-nilai yang ditekankan oleh al-Qur’an dan al-hadis harus dimiliki oleh muslim, dan dimasukan ke dalam dirinya dari semasa kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf  ternyata erat hubungannya dengan akhlak.Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkat dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Ini yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya takwa adalah orang yang berakhlak mulia.
2.      .Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasiution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng- Esakan Tuhan, sebagai salah satu sifat yang terpenting antara sifat-sifat Tuhan lainnya.
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnya dapat dilihat melalui empat analisa sebagai berikut;
Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, Ilmu Tauhid sebagaimana diuraikan di atas membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbutan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju kepada Allah semata. Dengan demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia.
Kedua, dilihat dari segi fungsinya, Ilmu Tauhid menghendari agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang keenam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Tuhan itu. Dengan cara yang demikian beriman kepada Allah akan memberikan pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.
Demikian juga jika seseorang beriman kepada malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat. Percaya kepada malaikat juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan. Dengan cara demikian percaya kepada malaikat akan membawa kepada perbaikan akhlak yang mulia.
Selanjutnya diikutipula dengan mengamalkan segala perintah yang ada dalam al-Qur’an dan menjauhkan apa yang dilarangnya. Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya al-Qur’an, harus disertai akhlak dengan berakhlak dengan akhlak al-Qur’an, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nabi Muhhamad SAW.  
Dengan cara demikian iman kepada kitab erat kaitannya dengan pembinaan akhlak mulia.
Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya pada Nabi Muhammad SAW. didalam al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. itu, berakhlak mulia. Jika hal tersebut dinyatakan di dalam al- Qur’an maka maksudnya adalah agar diamalkan. Caranya antara lain dengan mengikuti perintahnya dan mencintainya.
Dengan cara demikian beriman kepada para rasul akan menimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib pada rasul. Maka akan menimbulkan akhlak yang mulia, dan disinilah hubungan Ilmu Akhlak dengan Tauhid.
Demikian pula beriman kepada hari akhir, disisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan dilakukan selama didunia ini akan diminta pertanggung  jawabnya di akhirat nanti. Keimanan kepada hari akhir diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia banyak melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa atau ingkar kepada Tuhan. Disinilah letak hubungan iman kepada hari akhir dengan akhlak yang mulia.
Selanjutnya beriman kepada qada dan qadar Tuhan juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar Tuhan itu senantiasa bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya.
Berdasarkan analisa yang sederhana ini, tampak jelas bahwa jelas bahwa rukun iman yang ke enam erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia.Disinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan Ilmu Akhlak.
Hubungan keimanan yang dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan Ilmu Akhlak banyak pula dijumpai dalam hadis.
. Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak memberi penjabaran dan pengalaman dari ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak akan ada artinya, dan akhlak mulia tanpa Tauhid tidak akan kokoh. Selain itu, Tauhid memberi arahan terhadap akhlak, dan akhlak memberikan isi terhadap arahan tersebut. Disinilah letaknya hubungan yang erat dan dekat antara tauhid dan akhlak.
3.      Hubungan Ilmu Akhlak dan Ilmu Jiwa.
Dilihat dari segi garapannya, Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang tenang pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Manusia dengan sendirinya dapat menjadi baik atau buruk, atau mengetahui yang baik dan buruk. Namun pengetahuan manusia terhadap moral yang baik dan yang buruk itu terbatas. Manusia masih memerlukan informasi perbuatan moral yang baik dan yang buruk dari yang tak terbatas, yaitu dari wahyu Tuhan. Manusia misalnya tidak tahu bahwa perbuatan zina itu buruk, dan tidak pula tahu bahwa mengimami adanya kehidupan akhirat sebagai perbuatan baik. Untuk masalah yang demikian itu datanglah wahyu.
Ilmu Jiwa juga terdapat informasi tentang perbedaan psikologi yang dialami seorang pada setiap jenjang usianya. Pada usia Balita misalnya, anak cenderung emosional dan manja. Sedangkan pada usia kanak-kanak cenderung meniru orang tuanya dan bersikap rekreatif. Gejala psikologi seperti ini akan memberikan informasi tentang perlunya menyampaikan ajaran akhlak sesuai dengan perkembangan jiwanya. Dengan demikian Ilmu jiwa juga dapat memberikan masukan dalam rangka merumuskan tentang metode dan pendekatan dalam pembinaan akhlak.

4.   Ilmu Akhlak dan ilmu masyarakat ( sosiology)
Hubungan keduanya ini juga sangat erat, karena mempelajari kelakuan ( perbutan manusia yang timbul dari kehendaknya) yang ia menjadi pokok persoalan Ilmu Akhlak, sangat mendorong untuk mempelajari kehidupan masyarakat yang menjadi pokok persoalan sociology.
Ilmu masyarakat mempelajari masyarakat manusia yang pertama tentang bahasa, agama dan keluarga, dan bagaimana bentuk undang- undang dan pemerintahan dan sebagagainya.Memelajari semua ini menolong untuk memberi pengertian akan perbuatan manusia dan cara menentukan hukum baik dan buruk, benar dan salah.
5.   Ilmu Akhlak dan ilmu hukum.
Pokok pembicara dan tujuan keduanya hampir semua, ialah : mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaan mereka. Akan tetapi Ilmu akhlak lebih luas lingkunganya.
Ilmu akhlak  memerintahkan berbuat apa yang berguna  dan melarang, kecuali apabila dapat menjauhi  hukuman kepada orang menyalahi perintah dan larangannya.
Perbedaan lain ialah bahwa ilmu hukum melihat segala perbuatan dari jurusan dan akibat yang lahir. Sedangkan Ilmu ahklak menyelami  gerak jiwa manusia yang batin dan juga menyelidiki perbuatan yang lain.
.[6]


[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.RajaGrafindo, 2011) hal 1.
[2] Barmawi Umary, Materia Akhlak,(Solo: CV Ramadhani, 1967)
[3] Asmaran As, Pengantar Study Akhlak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992). Hal 6.
[4] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlaq), PT Bulan Bintang,(Jakarta, 1995), Hal 2-9.
[5] Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010). Hal. 10-11
[6]. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlaq), PT Bulan Bintang,(Jakarta, 1995), Hal 2-9.

INFLASI

DESI ANGGARA 14117964

INFLASI 

A. MENGERTIAN INFLASI 

Menurut A.P lener bahwa fungsi inflasi adalah kelebihan permintaan (exsess demand) terhadap penyediaan barang dalam suatu perekonomian secara keseluruhan.

B. MACAM-MACAM INFLASI

1. Inflasi Ringan
inflasi yang lajunya kurang dari 10%, pertahun. inflasi ini wajar terjadi dinegara pembangunan. 
2. Inflasi Sedang
inflasi ini memiliki ciri yaitu lajunya kisaran antara 10% sampai 30% pertahun, dan inflasi seperti ini sudah membahayakan kegiatan ekonomi masyarakat.
3. Inflasi Berat
inflasi berat adalah inflasi yang lajunya antara 30% sampai 100&, kenaikan harga sudah sulit di kendalikan. dan menyebabkan  terjadinya spekulasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
4. Inflasi Liar
inflasi liar adalah inflasi yang lajunya sudah melebihi dari 100% pertahun, inflasi ii  tidak dapat dikendalikan.

C.AKIBAT BURUK INFLASI
1. Kesenjangan distribusi endapatan
2. pendapatan riil merosot
3. Nilai riil tabungan merosot

D. KEBIJAKAN MONETER 
1. Politik diskonto
2. kebijakan pasar tebuka
3. kebijakan persediaan kas (cash ratio policy)
4.Perubahan cadangan minimum 

E. KEBIJAKAN FISKAL 
1. Pengaturan pengeluaran pemerintah
2. menaikan tarif pajak 
3. menaikan pinjaman pemerintah


Peradaban islam pada masa Nabi Muhammad



ALIRAN DAN TOKOH-TOKOH MURJI’AH



DESI ANGGARA 14117964
                        ALIRAN DAN TOKOH-TOKOH MURJI’AH
A.   Definisi Murji’ah dan Kumunculannya
Nama Murji’ah  diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan,  penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a memberikan harapan yaitu pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dari rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yaitu Ali dan Mu’awiyah, serta setiap pasukanya pada hari kiamat kelak.
 Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal usul kemunculan murji’ah. Teori pertama menyatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’a di kembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika menjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarisme. Murji’ah baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersama dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Murji’ah pada saat itu musuh berat khawarij.
Teori lain menyatakan bahwa gagasan irja’ yang berupa basis doktrin murji’ah muncul prtama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan cucu Ali bin Abi Thalib, yaitu Al-Hasan bin Muhamad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695M. Penggagas teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah meneninggalnya Muawi’ah tahun 680M, dunia islam di koyak oleh pertikaian sipil, yaitu Al-Mukhtar yang membawa paham syi’ah ke kufah dari tahun 685M-687M. Ibnu Zubair mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga kekuaaan islam. Sebagai respon dari keadaan ini muncul gagasan irja’ atau penangguhan (posponenment). Gagasan ini nampaknya pertama kali di gunakan sekitar tahun 695M oleh cucu Ali bin Abi Thalib, yaitu Al-Hasan bin Muhamad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya yang tampak autentik.
 Dalam surat itu Al-Hasan menunjukan sikap politiknya dengan mengatakan : ’’kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhnya keputuan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil yang pertama yang  melahirkan Ustman, Ali dan Zubai (seorang tokoh pembelot di Mekkah), dengan sikap politik ini, Al-Hasan mencoba mengulangi perpecahan umat islam, ia kemudian menolak berdampingan dengan kelompok syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya.serta menjauhkan diri dari khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan mu’awiyah dengan alasan bahwa ia ialah pendosa Ustman.[1]
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah, di lakukanlah tahkim (arbirase) atas utusan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu kubu Khawarij, memandang bahwa tahkim itu bertentangan dengan Al-Quran dalam pengertian tidak bertakhim berdasarkan hukum Allah SWT. Oleh karena itu khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. pendapat khawarij tersebut ditantang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir. Sementara dosanya diserahkan kepada Allah SWT.
                                    
B.   Sejarah Murji’ah
Sejak terjadinya ketegangan politik diakhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam politik. Selanjutnya ketika terjadi salah menyalahkan antara perselisihan pihak pendukung Ali dan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap irja’ yakni menunda putusan siapa yang bersalah.
Menurut mereka biarlah Allah saja yang nantinya akan yang memutuskan siapa yang bersalah diantara mereka yang tengah berselisih ini. Karena penundaan, semua keputusan berada ditangan Allah SWT, serta senantiasa berharap Allah akan mengampuni  dosa-dosa pelaku dosa besar tersebut, kemudian mereka ini populer dengan sebutan golongan atau aliran murji’ah yaitu  orang yang mendapat putusan para pelaku dosa besar sampai ada ketetapan dari Allah, dengan berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka itu. Pemimpin dari kaum murji’ah ini adalah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salad As Amman (meninggal 152 H),Tauban dan Dhinar bin Umar.
Adapun hal-hal yang melatar belakangi kehadiran murji’ah antara lain:
Ø Adanya pertentangan pendapat aantara orang-orang syi’ah dan khawarij, mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengkafirkan orang-orang yang terlibat dan menyetujui adanya tahkim dalam perang shiffin.
Ø Adanya pendapat menyalahkan pihak Aisyiah, cs.yang menyebabkan pecahnya perang shiffin.
Ø Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Utsman ibnu Affan.
Kaum murji’ah lahir permulaan pada abad ke-1 Hijriah setelah melihat hal-hal di bawah ini :
v Kaum syi’ah menyalahkan bahkan menghafirkan orang-orang  yang merebut pangkat khalifah dan saidina Ali ra.
v Kaum khawarij menghukunm kafir khalifah Mu’awiyah karena melawan pada khalifah yang sah, yaitu saidina ‘Ali Ra, begitu juga kaum khawarij menghukum kafir saidina ‘Ali Ra karena menerima tahkim dalam peperangan siffin.
v Kaum Mu’awiyah menyalahkan orang-orang pihak Ali karena memberontak melawan saidina Utsman bin Affan Ra.
v Sebagian pengikut saidina Ali Ra menyatakan kesalahan atas sikap Ummul Mukminin yaitu Siti Aisyah Ra, sikap sahabat Thalhah dan Zubair yang menggerakkan perlawanan terhadap saidina Ali sehingga terjadi “peperangan jamal”.

          Kaum murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar tersebut  masih  mukmin yaitu, mukmin yang berdosa tidak berubah menjadi kafir. Orang mukmin yang melakukan dosa besar  itu dianggap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap signifikansi.

Secara etimologi Murji’ah memiliki beberapa pengertian antara lain :
ü Penundaan, menunda atau mengembalikan urusan mereka yang mukmin dan melakukan dosa besar kemudian mati sebelum tobat kepada Allah.
ü Penghargaan, orang mukmin yang  berbuat dosa besar tidak kafir sebagai penghargaan atas iman mereka kepada Allah.
ü Penyerahan, menyerahkan segala urusan kepada Allah sebagai Dzat yang Maha Tahu dan Maha Adil. Tidak ada yang berhak menghukumi seseorang selain Allah.
ü Menjadikan sesuatu di belakang, amal seseorang tidaklah penting dan tidak akan mempengaruhi iman. Hal ini sebagaiman orang kafir yang beramal tidaklah mempengaruhi pendustaan mereka kepada Allah (keimanan).[2][1]

Menurut mereka penganut Murji’ah, masalah iman adalah urusan Allah. Dan bukan urusan mereka yang perlu diperdebatkan. Selama ada kepercayaan kepada Allah maka mereka dihukumi mukmin, meskipun dalam dzahirnya bertentangan dan tidak menjalankan syari’at. Karena mereka yang kafir adalah mereka yang tidak kenal Allah atau bodoh tentang-Nya. Bahkan jika mereka menjalankan ajaran agama lain, bersujud pada berhala dan mengaku percaya pada trinitas.[2] Mereka memisahkan amal dan iman yang ada dalam hati (Al-Fashlu Baynal Amal Wa Al-Iman).[3]
 Hal ini sebagaimana amal yang dilakukan orang kafir tidak akan mempengaruhi hati atau keimanan mereka.
mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.
          Pemikiran yang paling menonjol dari aliran ini ialah bahwa pelaku dosa besar tidak dikatagori sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan mereka adalah Allah, Rasul-Nya adalah nabi muhammad, serta Al-quran sebagai ajarannya.

C.   Ajaran Murji’ah
Pokok-pokok ajaran mur’jiah dapat disimpulkan sebagai berikut:
ü  Iman hanya pengakuan dalam hati.
ü  Orang yang berbuat dosa besar tidak dihukumi kafir, tapi masih mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
ü  Hukum segala perbuatan manusia, ditangguhkan hingga sampai hari akhir kelak.
Sebagai konsekwensinya ajaran tersebut di atas, melahirkan pendapat-pendapat lain, yaitu :
1.    Keimanan merupakan pokok ajaran, sedangkan amal suatu hal yang nomor dua, dengan kata lain amal tidak berpengaruh pada iman. Ajaran inilah yang nanti di kemudian hari menimbulkan kesan yang tidak  baik di kalangan murji’ah sendiri, ajaran ini  memberi ruang lingkup yang lebih luas pada umat islam, tidak perlu khawatir dicap kafir, akan tetapi  ajaran ini mengaburkan identitas keimanan sesorang, padahal agama merupakan misi untuk membina kepribadian seseorang.
2.    Orang berbuat dosa besar masih punya mempunyai harapan memperoleh rahmat, ia masih mu’min dan tidak kafir.  Hal ini berarti suatu sikap yang lunak terhadap para maksiat dan akan berakibat berkembangnya masyarakat serba bebas dari ikatan nilai dan norma.

D.   Tokoh-tokoh  Aliran dalam Murji’ah 
Pemimpin utama Madzhab murji’ah ialah Hasan ibn Bilal Al Muzni, Abu Salat As-Sammam dan Dirar ibn Umar. Untuk mendukung perjuangan pendapat Murji’ah ini pada masa Umayyah telah muncul sebuah syair yang [4]terkenal tetang i’tikad dan keyakinan Murji’ah yang di gubah oleh Tsabiti Quthnah.
Dari segi politik, Murji’ah sangat menguntungkan pada khalifah, semasa Bani Umaiyyah karena dengan dogma mereka dapat mencegah pemberontakan terhadap pemerintah. Dalam proses perkembangan selanjutnya terjadi perpecahan dan perbedaan pendapat, ada yang moderat ada pula yang ekstrim. Dalam Murji’ah tidak terdapat aliran atau sekte dalam arti yang sebenarnya, yang ada hanya pendapat pribadai yang didukung oleh orang lain.
Murji’ah yang  moderat  antara lain Hasan ibn Muhammad ibn Abi Thalib antara lain berpendapat walau bagaimanapun besar dosanya, kemungkinan pengampunan Tuhan masihada.Dan yang ekstrim antara lain Al-Jahmiyah,As- Sahalihiyah, Al-Yunusiy .Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok menjelaskan seperti berikut :
Ø Jahmiyah, kelompok jahm bin shafwan dan para pengikutnya berpandangan bahwa orang yang perca ya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur bertempat didalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
Ø Syalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan Tuhan,  sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Sholat bukan merupak ibadah kepada Allah yang dimaksud ibadah adalah iman kepada–Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula dengan zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melaikan sekedar menggambarkan kepatuhan.
Ø Yunusiyah dan Ubaniyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa berbuat jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seorang sebagai musyrik (polytheist).
Ø Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan bahwa “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”. Maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir, begitu pula orang mengatakan “saya tahu Tuhan mewajibakn naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain?

Asy Syahratsani membagi kelompok-kelompok pendapat Murji’ah itu kepada empat, yaitu :
Ø Murji’ah Khawarij
Ø Murji’ah Qodariyah
Ø Murji’ah Jabariyah
Ø Murji’ah Asli
Secara fisik Murji’ah lenyap bersama turunnya Bani Ummayah. Namun dalam sejarah perkembangannya cukup banyak mengisi lembaran sejarah. Dalam politik mereka sebagai moderator yang tidak mudah apriori dan dalam teologi termasuk orong yang berhati-hati dalam menghukum orang sebagai  kafir.[5]

E.   Pokok Pemikiran Kelompok Murji’ah
Diawali dari pemerintahan yang terjadi konflik yaitu persoalan kekuaaan, kepemimpinan sampai kepada masalah teologi dimulai pada masa pemerintahan Utsman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik di kalangan umat islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaaan selalu dibingkai dengan ajaran agama sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya.
 Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-aliran teologi dari islam lahir dari konflik politik yang terjadi dikalangan umat islam sendiri.untuk kepentingan dan mendukung politik masing-masing  kelompok ulama. Dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa berkepihakkan. Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan berposisi  terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang  yang netral, baik karena mereka menganggap perang saudara ini sebagai suatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan Had dan kebenaran pada kelompok yang ini atau Khalifah dan kerajaan.
Aliran murji’ah ini muncul sebagai reaksi atau sikap yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar (Nata Abudin 2001:33). Aliran murji’ah adalah aliran islam yang muncul pada golongan yang tak sepaham dengan khawarij. Ini tercemin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan khawarij. Pengertian murji’ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seorang sampai dipengadilan Allah kelak.
Jika mereka tak mengkafirkan seseorang muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap pelaku dosa besar hanyalah Allah SWT, sehingga seorang seorang muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan punya harapan untuk bertaubat. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan syi’ah dan khawarij.
Kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan pertumpahan darah yang terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu kejahatan yang benar, namun mereka menolak menimpahkan kesalahan kepada salah satu diantara kedua kelompok yang saling berperang yaitu kubu Ali dan Muawiyyah. Pada mulanya kaum murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh, munculnya permasalah ini dipicunoleh   perlahan-lahan menjadi permasalahan tentang ketuhanan.

F.  Sekte-Sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok murji’ah tampaknya perbedaan pendapat  (bahkan hanya dalam hal intensitas) dikalangan para pendukung murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte muji’ah kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang  diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washid bin Atha dari Mustazi’lah, dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah. Oleh karena itulah Ash Syahrastani seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte murji’ah sebagai berikut:
a)      Murji’ah Khawarij
b)      Murji’ah Qodariyah
c)      Murji’ah  Jabariyah
d)      Murji’ah Murni[6]
e)      Murji’ah sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah)[7]
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12  sekte Murji’ah yaitu :[8]
1.      Al-Jahmiyah, pengikut  Jahm bin Shufwan.
2.      Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash- Shalahi.
3.      Al- Samariyah, pengikut Abu Samr dan Yunus.
4.      As-syaubataniyah , pengikut Abu Syauban.
5.      Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailainiyah bin Marwan  Ad-Dimsnqy.
6.      An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammadikut  An-Najr.
7.      Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanafiah An-Nu’man.
8.      Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad  bin Syabib.
9.      Al-Mu’aziyah, pengikut  Muadz Ath-Thaumu.
10.   Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
11.   Al-Karamiyah,pengikut Muhammad bin Karam A s-S ijistany.
12.   Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Sanary.

G.    Idiologi Menurut Tokoh-tokoh Murji’ah

1.  Iman hanya pengakuan dalam hati.
2.  Orang yang berbuat dosa besar tidak di hukumkan kafir, tapi masih mu’min selama ia masih mengikuti dua kalimat syahadat.
3.  Hukum segala perbuatan manusia, ditangguhkan hingga akhir kelak.
Menurut syahratsani mengatakan bahwa Husain ibn Muhammab ibn Abi Thalib adalah orang petama menyebut “irja”, akan tetapi ini belum sepenuhnya bahwa dia adalah pendiri golongan ini.[9]

H.    Pengaruh Aliran Murji’ah Pada Masa Sekarang
Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam setelah Usman Ibn Affan mati terbunuh.
v Sisi Positif Murji’ah
1.  Orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain prang serupa tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir.
2.  Orang yang telah melakukan besar, tidak kekal dalam neraka, sehingga memberi harapan bagi yang berbuat dosa besar untuk menapatkan rahmat-Nya. Tetapi pelaku dosa besar tetap mendapat hukuman di dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukannya.

v Sisi Negatif Murji’ah:
1.  Kaum Murji’ah berpendapat bahwa yang diutamakan itu adalah iman, sedangkan perbuatan ke beri kedudukan ke dua.
2.  Islam yang percaya pada tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran yahudi atau agama kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinity, dan kemudian mati. Orang demikian bagi allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
3.  Dalam pengertian mereka, sembahyang tidaklah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadat ialah iman kepadanya dalam arti mengetahui Tuhan.


[1] Nata Abidin, Ilmu Kalam dan Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Pesada, th 2001)
[2]http://philosopherscommunity.blogspot.com/2012/07/murjiah.html

Siradjuddin abbas, i’tiqad ahlusunnahwal-jamaah( jakarta, pustaka tarbiyah 1992)

[4] Yusran Asmuni, ilmu tauhid (cv pedoman ilmu jaya jakarta kramat jaya 3 j)
[5] Badri ,ketentuan akad dalam islam(jakarta pustaka 2011
[6] .Abdul Rozak dan rosihon Anwar, ilmu kalam (pustaka setia bandung)





[10] http://main-curang.blogspot.com/2009/09/sisi-positif-dan-negatif-dari-aliran-di.html